Beberapa hari yang lalu, saya dengan istri pergi ke RSU Dr. Sarjito untuk tilik Pakdhe dan memeriksakan istri yang beberapa hari sebelumnya selalu mengeluh sakit perut. Ketika adzan maghrib berkumandang, kebetulan kami masih menunggu hasil cek darah dan urin istri yang katanya masih butuh waktu lama. Karena masih lama itulah kami memutuskan untuk shalat di luar sarjito, yaitu di Masjid Mardhiyah.
Setelah shalat, ada seseorang yang memperhatikan saya. Saya cuek saja karena saya tidak tahu siapa. Beberapa saat kemudian, setelah saya duduk di depan masjid, dia menghampiri dan berkata: "Bapaknya ngajar di UII ya, Pak?". Saya jawab: "Lho, kok tahu?". "Di informatika, kan, Pak?". "Lho, kok tahu juga?". Dia lalu berkata,"Iya, pak... saya juga di Informatika. Saya mahasiswa struktur data".
Terus terang, itu adalah kesekian kalinya saya mendengar istilah "bapaknya" untuk memanggil saya. Seandainya saya yang jadi dia, maka beginilah saya bertanya: "Pak Arwan?? Pak, saya mahasiswa struktur data" (ketika dulu ketemu dengan Pak Danang Lelono dosen ilkom UGM di masjid deket pondok, saya juga tanyanya demikian).
Entah mengapa, model panggilan seperti ini sering dipakai oleh anak-anak . Entah hanya oleh mahasiswa UII saja atau mahasiswa yang lain. Yang jelas, yang saya tahu ketika istri saya dan temen-temen hukum UGM ngomong tentang dosennya, mereka selalu menyebut nama, bukan dengan 'ibunya' atau 'bapaknya'. Ketika adik saya dan temen-temen ilmu komputer UGM ngomong-ngomong tentang dosennya, mereka juga selalu menyebut nama.
Saya kadang berpikir aneh: "bapaknya"?? Bapaknya siapa, ya...???
Fenomena tidak menyebut nama dosennya, sekaligus juga tidak tahu nama dosennya ini nampaknya menjadi fenomena yang sering saya jumpai di anak-anak UII. Pernah suatu saat saya tanya siapa dosen sebuah mata kuliah yang pernah mereka ambil yang masih nyangkut dengan kuliah saya ketika itu, mereka menjawab tidak tahu namanya. Jangan-jangan mereka juga tidak tahu nama saya??? :D
Seandainya ada dosen yang tidak hapal nama semua mahasiswanya, menurut saya itu adalah sebuah kewajaran, karena jumlah mahasiswa yang banyak sekali. Akan tetapi, ketika mahasiswa tidak hapal nama dosennya, maka itu hal yang aneh. Berapa sih nama dosen yang harus mereka ingat??
Agaknya, kalau fenomena seperti ini terus terjadi, maka kita perlu memberikan penyematan satu gelar lagi bagi guru dan dosen kita selain 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Gelar satu lagi itu adalah 'pahlawan tak dikenal'
Setelah shalat, ada seseorang yang memperhatikan saya. Saya cuek saja karena saya tidak tahu siapa. Beberapa saat kemudian, setelah saya duduk di depan masjid, dia menghampiri dan berkata: "Bapaknya ngajar di UII ya, Pak?". Saya jawab: "Lho, kok tahu?". "Di informatika, kan, Pak?". "Lho, kok tahu juga?". Dia lalu berkata,"Iya, pak... saya juga di Informatika. Saya mahasiswa struktur data".
Terus terang, itu adalah kesekian kalinya saya mendengar istilah "bapaknya" untuk memanggil saya. Seandainya saya yang jadi dia, maka beginilah saya bertanya: "Pak Arwan?? Pak, saya mahasiswa struktur data" (ketika dulu ketemu dengan Pak Danang Lelono dosen ilkom UGM di masjid deket pondok, saya juga tanyanya demikian).
Entah mengapa, model panggilan seperti ini sering dipakai oleh anak-anak . Entah hanya oleh mahasiswa UII saja atau mahasiswa yang lain. Yang jelas, yang saya tahu ketika istri saya dan temen-temen hukum UGM ngomong tentang dosennya, mereka selalu menyebut nama, bukan dengan 'ibunya' atau 'bapaknya'. Ketika adik saya dan temen-temen ilmu komputer UGM ngomong-ngomong tentang dosennya, mereka juga selalu menyebut nama.
Saya kadang berpikir aneh: "bapaknya"?? Bapaknya siapa, ya...???
Fenomena tidak menyebut nama dosennya, sekaligus juga tidak tahu nama dosennya ini nampaknya menjadi fenomena yang sering saya jumpai di anak-anak UII. Pernah suatu saat saya tanya siapa dosen sebuah mata kuliah yang pernah mereka ambil yang masih nyangkut dengan kuliah saya ketika itu, mereka menjawab tidak tahu namanya. Jangan-jangan mereka juga tidak tahu nama saya??? :D
Seandainya ada dosen yang tidak hapal nama semua mahasiswanya, menurut saya itu adalah sebuah kewajaran, karena jumlah mahasiswa yang banyak sekali. Akan tetapi, ketika mahasiswa tidak hapal nama dosennya, maka itu hal yang aneh. Berapa sih nama dosen yang harus mereka ingat??
Agaknya, kalau fenomena seperti ini terus terjadi, maka kita perlu memberikan penyematan satu gelar lagi bagi guru dan dosen kita selain 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Gelar satu lagi itu adalah 'pahlawan tak dikenal'
Comments
Itu jelas bukan pahlawan. Pahlawan embel-embelnya yg bagus lah...
seperti judulnya :) atau tambahan dari ibu ami. yang menunjukkan bukti nyata kontribusinya :)
Kalau dengar cara panggil seperti ini, jadi ingat waktu ujian pendadaran. Biasanya, di luar kesadaran, saya selalu memanggil yang sedang ujian dengan "masnya" kalau mahasiswa atau "mbaknya" kalau mahasiswi :D .
Dan, benar juga.. bahwa penyebabnya adalah kesulitan mengingat nama.
Betul 'kan, Bu Cicie? (Teman penguji yang selalu mengingatkan kesalahan cara saya tadi :D ).