Fiuh, akhirnya kelakon nonton laskar pelangi (dan... pssst... akhirnya kelakon nonton bioskop betulan... selama ini cuma nonton bioskop Trans TV. Hehe). Semalam kami nonton bareng ibu-ibu dari PP Aisyiyah dan beberapa teman dari Muhammadiyah (semalam sebagian besar penontonnya pengurus-pengurus Muhammadiyah). Mereka menyempatkan untuk nonton bareng karena film ini sangat lekat dengan kehidupan dalam salah satu amal usaha muhammadiyah.
Banyak kesan yang didapat dari cerita nyata ini. Salah satu yang paling berkesan menurut saya adalah ketika pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah itu, berkata kepada Bu Muslimah kira-kira seperti ini: "Mus, maaf, gajimu dan Bakri tertunda dua bulan". Kemudian Bu Muslimah menjawab: "Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah dapat duit dari menjahit".
Bagi saya, adegan sederhana itu begitu dalam rasanya. Sebuah pengabdian dari seorang guru baru yang masih muda, yang berkali-kali ditawari untuk menjadi guru di SD PN Timah yang lebih menjamin kehidupannya tapi selalu ditolaknya, dan lebih memilih mengabdi di SD Muhammadiyah dengan murid hanya satu angkatan, itupun hanya 10 orang, dengan gaji yang kurang dan sering terlambat, dengan ruangan kantor dan kelas yang sangat tidak layak, dengan fasilitas yang sangat kurang.
Menurut saya, adegan sederhana itu menunjukkan pengabdian yang tulus oleh guru-guru itu. Dengan sekuat tenaga mereka mempertahankan sekolah itu karena hanya itulah satu-satunya sekolah Islam di Belitung, hanya itulah satu-satunya sekolah yang tidak mengukur segala sesuatu dengan materi, tapi dengan hati. Adegan sederhana itu menunjukkan begitu kuatnya semangat guru-guru itu untuk mengabdi, yang menganggap bahwa mengajar bukanlah sebuah media untuk mencari duit dan kehidupan, akan tetapi mengajar adalah sebuah pengabdian tulus untuk membangun dan mendidik manusia yang akan mengenal Tuhannya, dan mengenal kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Luar biasa. Mengajar adalah sebuah pengabdian. Pengabdian itu akan terasa pengabdian ketika kita tidak menggantungkan hidup pada mengajar. Jadi ingat kepada keempat imam besar (Abu Hanifah, Syafi'i, Malik, Hambal) dan juga beberapa teman-teman saya. Mereka mengajar, akan tetapi mereka menggantungkan hidupnya dari berdagang, tapi dari berjualan kain, roti dan jualan yang lain.
Memang ini adalah satu hal yang cukup berat. Memahamkan diri kita sebagai pengajar untuk tidak melihat apresiasi hanya dari uang yang didapat memang tidak gampang, karena mengajar adalah sebuah aktivitas yang juga tidak gampang dan ringan. Perlu waktu banyak untuk menyiapkan materi, perlu tenaga dan ketlatenan untuk mengajari, perlu waktu dan tenaga untuk mengevaluasi, dan lain-lain. Akan tetapi, ketika disadari bahwa kita menyampaikan sesuatu yang ketika bermanfaat, maka pahalanya akan mengalir sampai kita meninggal, maka kita akan dengan mudah memahaminya.
Tidak irikah kita melihat ketulusan Bu Muslimah dan Pak Harfan?
Tidak irikah kita melihat semangat mereka?
Tidak malukah kita yang sudah diberi fasilitas yang banyak, tapi kalah dengan ketekunan dan ketlatenan mereka?
Akhirnya, saya mengajak pada diri saya sendiri dan juga bagi para pengajar yang berkenan membaca tulisan ini, mari kita berusaha menjadi pengajar yang benar-benar pengajar, dengan menanamkan pada diri kita bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian. Dan dia akan benar-benar terasa sebagai sebuah pengabdian ketika kita tidak menggantungkan hidup kita pada mengajar. Seorang kolega pernah mengatakan: pengabdian tidak harus pengab. Ini betul, akan tetapi mari coba dipahami bahwa uang yang didapat dari mengajar ini hanyalah sebuah penghargaan, apresiasi, dari kampus atau di manapun tempat mengajar kita, dan bukan satu-satunya sumber kehidupan kita. Cobalah untuk merintis usaha-usaha lain yang membuat kita bisa menggantungkan hidup padanya, sehingga akan sangat kuat tertanam dalam diri kita, bahwa MENGAJAR ADALAH SEBUAH PENGABDIAN.
Banyak kesan yang didapat dari cerita nyata ini. Salah satu yang paling berkesan menurut saya adalah ketika pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah itu, berkata kepada Bu Muslimah kira-kira seperti ini: "Mus, maaf, gajimu dan Bakri tertunda dua bulan". Kemudian Bu Muslimah menjawab: "Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah dapat duit dari menjahit".
Bagi saya, adegan sederhana itu begitu dalam rasanya. Sebuah pengabdian dari seorang guru baru yang masih muda, yang berkali-kali ditawari untuk menjadi guru di SD PN Timah yang lebih menjamin kehidupannya tapi selalu ditolaknya, dan lebih memilih mengabdi di SD Muhammadiyah dengan murid hanya satu angkatan, itupun hanya 10 orang, dengan gaji yang kurang dan sering terlambat, dengan ruangan kantor dan kelas yang sangat tidak layak, dengan fasilitas yang sangat kurang.
Menurut saya, adegan sederhana itu menunjukkan pengabdian yang tulus oleh guru-guru itu. Dengan sekuat tenaga mereka mempertahankan sekolah itu karena hanya itulah satu-satunya sekolah Islam di Belitung, hanya itulah satu-satunya sekolah yang tidak mengukur segala sesuatu dengan materi, tapi dengan hati. Adegan sederhana itu menunjukkan begitu kuatnya semangat guru-guru itu untuk mengabdi, yang menganggap bahwa mengajar bukanlah sebuah media untuk mencari duit dan kehidupan, akan tetapi mengajar adalah sebuah pengabdian tulus untuk membangun dan mendidik manusia yang akan mengenal Tuhannya, dan mengenal kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Luar biasa. Mengajar adalah sebuah pengabdian. Pengabdian itu akan terasa pengabdian ketika kita tidak menggantungkan hidup pada mengajar. Jadi ingat kepada keempat imam besar (Abu Hanifah, Syafi'i, Malik, Hambal) dan juga beberapa teman-teman saya. Mereka mengajar, akan tetapi mereka menggantungkan hidupnya dari berdagang, tapi dari berjualan kain, roti dan jualan yang lain.
Memang ini adalah satu hal yang cukup berat. Memahamkan diri kita sebagai pengajar untuk tidak melihat apresiasi hanya dari uang yang didapat memang tidak gampang, karena mengajar adalah sebuah aktivitas yang juga tidak gampang dan ringan. Perlu waktu banyak untuk menyiapkan materi, perlu tenaga dan ketlatenan untuk mengajari, perlu waktu dan tenaga untuk mengevaluasi, dan lain-lain. Akan tetapi, ketika disadari bahwa kita menyampaikan sesuatu yang ketika bermanfaat, maka pahalanya akan mengalir sampai kita meninggal, maka kita akan dengan mudah memahaminya.
Tidak irikah kita melihat ketulusan Bu Muslimah dan Pak Harfan?
Tidak irikah kita melihat semangat mereka?
Tidak malukah kita yang sudah diberi fasilitas yang banyak, tapi kalah dengan ketekunan dan ketlatenan mereka?
Akhirnya, saya mengajak pada diri saya sendiri dan juga bagi para pengajar yang berkenan membaca tulisan ini, mari kita berusaha menjadi pengajar yang benar-benar pengajar, dengan menanamkan pada diri kita bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian. Dan dia akan benar-benar terasa sebagai sebuah pengabdian ketika kita tidak menggantungkan hidup kita pada mengajar. Seorang kolega pernah mengatakan: pengabdian tidak harus pengab. Ini betul, akan tetapi mari coba dipahami bahwa uang yang didapat dari mengajar ini hanyalah sebuah penghargaan, apresiasi, dari kampus atau di manapun tempat mengajar kita, dan bukan satu-satunya sumber kehidupan kita. Cobalah untuk merintis usaha-usaha lain yang membuat kita bisa menggantungkan hidup padanya, sehingga akan sangat kuat tertanam dalam diri kita, bahwa MENGAJAR ADALAH SEBUAH PENGABDIAN.
Comments
1 vote for this Post
hohohooho