Beberapa dari kita memanggil istri dengan sebutan "ibu", "umi", "mama" atau sebutan-sebutan lain yang serupa. Demikian juga istri juga memanggil suami dengan sebutan "bapak", "abi", "papa" atau sebutan-sebutan lain yang serupa.
Ada sebuah kajian yang menarik tentang panggilan terhadap pasangan hidup kita ini, yang pada tanggal 25 Desember 2008 lalu disampaikan oleh Ustadz Asep Shalahudin, salah seorang anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.
Menurut beliau, panggilan ini adalah panggilan dari seorang anak kepada orang tuanya. Panggilan "ibu" adalah panggilan seorang anak kepada seorang yang telah melahirkannya. Demikian juga panggilan "ayah" adalah panggilan seorang anak kepada beliau yang menjadi partner ibu dalam memanggilnya ke dunia dan kemudian memelihara dan mendidiknya.
Dengan demikian, maka tidak selayaknya bagi seorang menggunakan panggilan ini untuk pasangannya, karena posisinya yang akan kemudian menjadi berbeda, seperti anak dengan orang tua. Bukankah seorang suami dilarang untuk mengatakan kepada istrinya: "punggungmu mirip punggung ibuku" atau yang serupa dengan itu. Ketika kita memanggil pasangan dengan sebutan ibu, menurut beliau, hal itu bisa dipersamakan dengan hal tersebut. (misalkan ketika kita memanggil istri dengan sebutan "umi", bukan kah itu berarti "ibuku"?). Memang beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu beralasan bahwa ini "mbasakke" anak, tapi menurut Ustadz Asep, hal ini tidak tepat, karena maknanya kemudian menggeserkan posisi pasangan itu dengan yang lain.
Rasulullah dan para shahabat memanggil istri-istri mereka dengan beberapa versi. Paling tidak ada dua versi yang biasa mereka lakukan. Versi pertama adalah dengan memberikan gelar ummu. Misalkan mereka mempunyai anak bernama Salamah, maka mereka memanggil istrinya dengan nama Ummu Salamah. Istrinya memanggil suaminya dengan sebutan Abu Salamah. Versi kedua adalah dengan memberikan nama-nama indah untuk suaminya atau istrinya. Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam memanggil Aisyah r.a. yaitu dengan panggilan "Humaira" yang artinya "yang pipinya kemerah-merahan".
Oleh karena itu, ketika kita memanggil pasangan kita, jangan gunakan "abi", "ayah", "papa" atau "umi", "ibu" dan sebagainya. Tapi gunakan seperti yang selayaknya kita gunakan untuk pasangan. Lebih baik panggil sesuai namanya dengan tambahan "Dik" misalnya. Atau panggil dengan menggunakan kata-kata sayang seperti "yang.... (sayang... bukan eyang... hehe)", atau "cin.... (cinta)" atau "han... (honey)". Atau bisa juga dengan julukan-julukan yang indah seperti apa yang dicontohkan Rasulullah untuk memanggil Aisyah, "Humaira". Atau juga dengan memberinya gelar sesuai nama anak kita (misalkan Ummu Syifa, Ummu Ilham, dll)
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Ada sebuah kajian yang menarik tentang panggilan terhadap pasangan hidup kita ini, yang pada tanggal 25 Desember 2008 lalu disampaikan oleh Ustadz Asep Shalahudin, salah seorang anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.
Menurut beliau, panggilan ini adalah panggilan dari seorang anak kepada orang tuanya. Panggilan "ibu" adalah panggilan seorang anak kepada seorang yang telah melahirkannya. Demikian juga panggilan "ayah" adalah panggilan seorang anak kepada beliau yang menjadi partner ibu dalam memanggilnya ke dunia dan kemudian memelihara dan mendidiknya.
Dengan demikian, maka tidak selayaknya bagi seorang menggunakan panggilan ini untuk pasangannya, karena posisinya yang akan kemudian menjadi berbeda, seperti anak dengan orang tua. Bukankah seorang suami dilarang untuk mengatakan kepada istrinya: "punggungmu mirip punggung ibuku" atau yang serupa dengan itu. Ketika kita memanggil pasangan dengan sebutan ibu, menurut beliau, hal itu bisa dipersamakan dengan hal tersebut. (misalkan ketika kita memanggil istri dengan sebutan "umi", bukan kah itu berarti "ibuku"?). Memang beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu beralasan bahwa ini "mbasakke" anak, tapi menurut Ustadz Asep, hal ini tidak tepat, karena maknanya kemudian menggeserkan posisi pasangan itu dengan yang lain.
Rasulullah dan para shahabat memanggil istri-istri mereka dengan beberapa versi. Paling tidak ada dua versi yang biasa mereka lakukan. Versi pertama adalah dengan memberikan gelar ummu
Oleh karena itu, ketika kita memanggil pasangan kita, jangan gunakan "abi", "ayah", "papa" atau "umi", "ibu" dan sebagainya. Tapi gunakan seperti yang selayaknya kita gunakan untuk pasangan. Lebih baik panggil sesuai namanya dengan tambahan "Dik" misalnya. Atau panggil dengan menggunakan kata-kata sayang seperti "yang.... (sayang... bukan eyang... hehe)", atau "cin.... (cinta)" atau "han... (honey)". Atau bisa juga dengan julukan-julukan yang indah seperti apa yang dicontohkan Rasulullah untuk memanggil Aisyah, "Humaira". Atau juga dengan memberinya gelar sesuai nama anak kita (misalkan Ummu Syifa, Ummu Ilham, dll)
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Comments