Suto adalah seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di sebuah kota pelajar. Di jalur arah kampus yang biasa dia lewati, dia melihat ada satu jalan yang sangat menarik perhatiannya. Setiap hari, dia berharap agar bisa lewat jalan itu. Sayang, jalan itu masih tertutup untuknya. Dia lihat nama jalan itu, namanya adalah "Jl. Sekolah di Jepang".
Suatu saat, dengan penuh harap dia bertanya kepada temannya, si Noyo, apakah Noyo mempunyai informasi tentang bagaimana cara agar dia bisa lewat jalan itu. Akan tetapi, betapa kecewanya ketika Noyo berkata, “Selain orang … Dilarang lewat … Apakah kamu biasa melakukan sesuatu yang bisa menunjukkan bahwa kamu adalah orang … ? “.
Suto bertanya, “Kenapa harus orang … yang diperbolehkan lewat? Apakah kepala desa atau ketua RW atau ketua RT-nya ya orang … juga?”. Noyo menjawab dengan enteng, “Ya bukan, tapi si pembuka pintu jalan itu yang orang …”.
Suto benar-benar bertanya dalam hatinya, “Harusnya jalan itu kan diperbolehkan untuk umum to,ya…? Harusnya bukan hanya untuk orang … saja.”
Noyo kembali berkata, “Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun”.
Karena terburu-buru mau ngajar, Suto tidak sempat membalas perkataan Noyo. Dia hanya membatin, “Bukankah itu untuk menggambarkan ketidakbaikan di akhir jaman? Kok dijadikan dalil?”
Lalu Suto hanya berkata di hatinya, "Kenapa menggantungkan nasib kita pada orang lain? Lebih baik bertanya kepada Allah dan mencari cara sendiri untuk bisa lewat jalan itu. Insya Allah suatu saat, Kepala Desa atau Ketua RW, atau Ketua RT-nya jalan itu akan mengijinkan aku lewat. Amin."
Comments
kalau gitu, kita harus bicara intensif ki ;)
Wah, berarti saya boleh lewat kan pak?
:P