Ketika nonton tv one semalam, ada satu diskusi yang terus terang membuat saya agak gerah, yaitu tentang pelegalan judi.
Logika yang dipakai oleh narasumber adalah bahwa kita tidak usah munafik. Kita melarang prostitusi, tapi nyatanya prostitusi juga tetap ada. Kita melarang merokok, tapi nyatanya merokok juga tetap jalan. Karena tetap ada walau dilarang, menurut beliau, harusnya tetap saja diperbolehkan, tapi dilokalisasi. Logika tersebut kemudian juga diterapkan untuk judi.
Secara sosiologis, itu memang benar. Tapi, secara logika orang beragama, itu tidak bisa dibenarkan. Bahkan kalau memang mau konsisten, bahkan orang awam pun pasti akan sepakat bahwa semua tatanan akan rusak oleh logika itu. Kalau pakai logika itu, maka orang mencuri harusnya juga diperbolehkan. Toh walau dilarang tetap ada. Selain itu, orang memperkosa juga diperbolehkan. Toh walau dilarang tetap ada. Intinya, mencuri, membunuh, memperkosa, menipu, korupsi, semua harus dilegalkan, karena walau dilarang itu tetap ada. Itu kalau digunakan logika sosiologis. Mau?
Okelah, itulah fakta masyarakat. Di manapun dan kapanpun selalu ada dua sisi yang muncul berpasangan. Ada atas, pasti ada bawah. Ada orang baik, pasti ada orang jahat.
Kejahatan seseorang adalah untuk dicegah, bukan malah DIFASILITASI. Dalam lingkungan di mana ada orang baik dan jahat, maka si baiklah yang boleh mendominasi (jika ingin masyarakatnya baik). Segala kebaikan harus dimudahkan dan difasilitasi. Bukankah salah satu kewajiban pemimpin itu adalah mempermudah yang dipimpinnya untuk berbuat kebaikan?
Dalam masyarakat yang ingin baik, sekali lagi memang mungkin di sana ada orang yang jahat. Tapi biarlah orang jahat merasa tidak nyaman dengan kejahatannya. Biarlah orang jahat merasa risih, karena berada di lingkungan yang baik.
Entah bangsa ini ingin jadi masyarakat baik atau tidak. Kalau memang lokalisasi dan legalisasi kejahatan itu selalu ada, maka itu berarti pemimpin bangsa ini ingin melestarikan kejahatan. Dia ingin menutup kemungkinan orang jahat untuk menjadi baik, karena ada lingkungan sekitarnya yang sama-sama jahat, dan karena dia tidak berada di tengah orang-orang yang baik. Atau barangkali pemimpin bangsa ini yang ingin mempunyai tempat yang pasti dan mudah dicari untuk melakukan kejahatan yang selama ini dia pendam dan sembunyikan. Entah....
Logika yang dipakai oleh narasumber adalah bahwa kita tidak usah munafik. Kita melarang prostitusi, tapi nyatanya prostitusi juga tetap ada. Kita melarang merokok, tapi nyatanya merokok juga tetap jalan. Karena tetap ada walau dilarang, menurut beliau, harusnya tetap saja diperbolehkan, tapi dilokalisasi. Logika tersebut kemudian juga diterapkan untuk judi.
Secara sosiologis, itu memang benar. Tapi, secara logika orang beragama, itu tidak bisa dibenarkan. Bahkan kalau memang mau konsisten, bahkan orang awam pun pasti akan sepakat bahwa semua tatanan akan rusak oleh logika itu. Kalau pakai logika itu, maka orang mencuri harusnya juga diperbolehkan. Toh walau dilarang tetap ada. Selain itu, orang memperkosa juga diperbolehkan. Toh walau dilarang tetap ada. Intinya, mencuri, membunuh, memperkosa, menipu, korupsi, semua harus dilegalkan, karena walau dilarang itu tetap ada. Itu kalau digunakan logika sosiologis. Mau?
Okelah, itulah fakta masyarakat. Di manapun dan kapanpun selalu ada dua sisi yang muncul berpasangan. Ada atas, pasti ada bawah. Ada orang baik, pasti ada orang jahat.
Kejahatan seseorang adalah untuk dicegah, bukan malah DIFASILITASI. Dalam lingkungan di mana ada orang baik dan jahat, maka si baiklah yang boleh mendominasi (jika ingin masyarakatnya baik). Segala kebaikan harus dimudahkan dan difasilitasi. Bukankah salah satu kewajiban pemimpin itu adalah mempermudah yang dipimpinnya untuk berbuat kebaikan?
Dalam masyarakat yang ingin baik, sekali lagi memang mungkin di sana ada orang yang jahat. Tapi biarlah orang jahat merasa tidak nyaman dengan kejahatannya. Biarlah orang jahat merasa risih, karena berada di lingkungan yang baik.
Entah bangsa ini ingin jadi masyarakat baik atau tidak. Kalau memang lokalisasi dan legalisasi kejahatan itu selalu ada, maka itu berarti pemimpin bangsa ini ingin melestarikan kejahatan. Dia ingin menutup kemungkinan orang jahat untuk menjadi baik, karena ada lingkungan sekitarnya yang sama-sama jahat, dan karena dia tidak berada di tengah orang-orang yang baik. Atau barangkali pemimpin bangsa ini yang ingin mempunyai tempat yang pasti dan mudah dicari untuk melakukan kejahatan yang selama ini dia pendam dan sembunyikan. Entah....
Comments
"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...." (QS. Al-Maidah:2).
Dan tidak hanya itu. Kalau punya kemampuan, cegahlah kemungkaran.
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imron:104).