Seorang dosen dituntut untuk selalu belajar, atau dengan bahasanya Pak Gatot Santoso, mantan dekan Fakultas Teknik AKPRIND, seorang dosen itu ditantang, selalu ditantang untuk mengungguli ilmu mahasiswanya. Ya, benar, karena sekali berhenti belajar, maka akan banyak ditinggalkan oleh yang lain, bahkan oleh mahasiswa (kata pak sumarsono, dosen ekonomi manajemen UII, dosen beda dengan guru. Kalau guru boleh tidak belajar. Tapi kalau dosen, tidak boleh tidak belajar).
Semenjak menjadi dosen, aktivitas belajar memang menjadi makanan sehari-hari saya. Entah belajar dari buku, internet, ataupun dari teman atau juga dari mahasiswa. Entah kenapa, belajar kali ini berbeda dengan peristiwa yang sama ketika saya dulu mahasiswa. Nampaknya dulu belajar menjadi sebuah beban, tapi sekarang belajar menjadi sebuah keasyikan tersendiri.
Di sela-sela waktu belajar, nampaknya kita juga harus meluangkan waktu untuk sesuatu yang lain. Dalam bahasa saya, 'sesuatu' itu saya sebut sebagai tamasya. Tamasya ini perlu untuk mengimbangi aktivitas otak yang 'dipaksa' untuk berpikir. Tamasya perlu untuk mengendorkan kembali syaraf-syaraf yang telah tegang karena belajar.
Tamasya tidak selalu harus dimaknai dengan piknik ke luar, belanja, dan sbagainya. Tamasya bisa berarti melihat-lihat kebun, nyirami tanaman, atau sekali waktu pergi ke rumah sakit untuk melihat mereka yang sakit agar kita bisa bersyukur dengan kesehatan kita, atau pergi ke masjid yang belum pernah kita kunjungi, lalu shalat dan tafakur di sana.
Yang penting, yang namanya tamasya adalah mengendorkan kembali pikiran yang tegang, entah apapun bentuknya.
Comments